“Kakak, sini tangannya kitorang mau bantu kakak.”
Suara anak-anak di Yomakan ini masih terngiang-ngiang kala melihat
foto-foto mereka. Setelah perahu kami bersandar di sisi tanggul, segerombolan
anak-anak langsung mengerubuti, berlomba-lomba menjulurkan tanggannya membantu
kami menaiki tanggul di bibir pantai.
Senang melihat mereka yang begitu antusias menyambut kami rombongan
Dinas Pariwisata dan teman-teman dari WWF. Hal yang saya sesali waktu itu,
karena tidak membawa cenderamata untuk anak-anak ini. Wajah lugu mereka begitu
meninggalkan kesan mendalam, anak-anak yang jauh dari hiruk pikuk kota, tinggal
di pulau terpencil tapi tahu bagaimana menolong orang.
Yomakan adalah salah satu distrik (setingkat kecamatan) di Kabupaten Teluk
Wondama, Provinsi Papua Barat. Mencapai Pulau Yomakan nyatanya sangat sulit
karena tidak ada akses darat selain menggunakan perahu mesin yang biasanya
disewakan.
Penduduk asli Yomakan biasanya bepergian dengan perahu mereka sendiri
karena sebagiannya adalah nelayan. Sedangkan Waktu tempuh dari Pelabuhan Wasior
(Ibukota Kabupaten) ke Kampung Yomakan bisa menghabiskan waktu sekitar 5 jam. Sebenarnya
waktu tempuh bisa lebih singkat atau lebih lama, tergantung kecepatan angin dan
gelombang laut.
Umumnya perjalanan di malam hari dengan perahu mesin tidak dianjurkan,
selain karena gelombang laut cukup tinggi para nelayan juga khawatir dengan
adanya kayu gelondongan yang terbawa arus menuju laut. Kayu ini jika menghantam
perahu kecil tersebut bisa berakibat fatal. Karena alasan itu kami menginap di
salah satu rumah penduduk dan berencana melanjutkan perjalanan keesokan
harinya.
Malam pun tiba, kami dibawa menuju posko WWF lebih dulu untuk
bersih-bersih badan. Rumah-rumah penduduk di Kampung Yomakan tidak memiliki
fasilitas sanitasi sendiri-sendiri. Mereka menggunakan toilet bersama, sumur
bersama untuk digunakan bersama-sama. Saya awalnya masih sungkan, tapi daripada
bau air garam di badan tidak hilang-hilang akhirnya saya pasrah saja.
Begitu pemilik rumah tahu kami ingin ke kamar mandi umum, mereka
mengabari tetangga yang lain untuk menyalakan lampu dan mengisi bak mandi dari
air sumur yang tidak jauh dari kamar mandi umum itu. Jujur saja saya merasa
begitu besar perhatian penduduk di Kampung Yomakan, lalu akhirnya saya meminta
agar cukup menyalakan listriknya saja, soal air biar kami yang gantian mengisi
bak mandinya.
Awalnya saya pesimis soal kebersihan toilet dan kamar mandinya, ternyata
begitu sampai saya lihat toilet mereka bersih dan tidak ada bau aneh-aneh. Wah
saya senang sekali dan sekali lagi kagum dengan kesadaran penduduk setempat
untuk memelihara fasilitas umumnya. Sampai beberapa jam berlalu saya memang
baik-baik saja dan tidak menemukan masalah berarti di kampung yang hanya
mengandalkan pencahayaan dari panel-panel surya.
Walaupun terpencil,
tapi sudah menerapkan konsep Air B&B
Saya terkadang menemukan kejutan-kejutan di perjalanan, baik kejutan
menyenangkan, maupun kejutan yang mampu membuat saya selalu ingat Tuhan karena
rasanya kematian ada di depan mata. Kejutan menyenangkan biasanya saya dapati
dari keramahan orang-orang yang saya temui di sela-sela perjalanan. Ibaratnya
seisi alam berkonspirasi memuluskan keberanian saya bepergian di tempat-tempat
yang belum terjamah pembangunan.
Kejutan lain yang memacu adrenalin dan seketika saja semua doa dan
dzikir keluar di mulut saya adalah ketika menyeberangi lautan lepas keluar dari
gugusan pulau-pulau kecil di perairan Teluk Wondama menuju Pulau Yomakan. Waktu
itu saya bepergian di awal bulan Desember yang dikenal oleh penduduk setempat
sebagai musim gelombang tinggi. Jika kapal speed
saja bisa oleng ke kanan ke kiri, apa jadinya jika yang saya tumpangi itu
hanya perahu kecil dengan mengandalkan dua mesin turbo.
Perjalanan ke Kampung Yomakan memang seru sekaligus menyadarkan saya,
betapa kecilnya kami (sekumpulan manusia dan perahu) di tengah lautan lepas
seperti itu. Kengerian sepanjang perjalanan menuju Kampung Yomakan akhirnya
tercurah ketika kami bersantap malam di salah satu rumah penduduk yang
menyediakan fasilitas berbagi ruang bagi wisatawan.
Kengerian itu berubah jadi
gelak tawa begitu tahu salah satu rekan kami yang sepanjang perjalanan
kelihatan tangguh tidak takut ternyata sudah memikirkan ingin menggunakan
jerigen kosong jika tahu-tahu perahu kami terbalik.
Bagian unik lainnya yang membuat saya lagi-lagi tidak habis pikir adalah
cara pemilik rumah menyambut dan melayani kami. Dari obrolan saya dengan Pak
Pasai (mitra kerja WWF) saya jadi tahu jika beberapa rumah penduduk di Kampung Yomakan
sudah disiapkan sebagai homestay bagi
wisatawan. Rumah mereka sebenarnya tidak terlalu besar, tapi karena tidak
banyak perabotan jadi terasa lapang.
Rumah-rumah mereka ini terdiri dari ruanng tamu, ruang keluarga, dua
kamar tidur dan ruang makan yang bergabung dengan dapur. Ruang makan ini memang
agak luas, cukup untuk menampung 13-15 orang untuk duduk lesehan. Ruang tamu,
ruang keluarga ini lah yang mereka gunakan sebagai kamar tidur bagi tamu-tamu
yang datang rombongan.
Dapurnya di rumah ini bersih, dan anaknya juga ikut membantu kami
memasak. Saat makan, mereka tahu cara menyajikan peralatan makan dengan baik,
mereka juga menolak ketika kami ajak makan bersama. Pemilik rumah dan
keluarganya baru ikut makan setelah kami selesai makan.
Entah penduduk Yomakan sadar atau mengerti soal konsep jenis-jenis
penginapan, tetapi menurut saya mereka sudah berhasil menerapkan konsep Air
B&B seperti yang banyak dilakukan pemilik properti di kota-kota besar. Malam
harinya mereka menggelar tikar dan memberi bantal untuk masing-masing orang,
selimut juga disediakan.
Sebelum tidur pemilik rumah juga menanyakan kira-kira ingin dibangunkan
jam berapa dan memohon maaf bagi yang muslim di desa mereka memang tidak ada
masjid jadi jika ingin shalat mereka sudah menunjukkan ruangannya, dan memberi
tahu arah kiblat. Mereka pasti tahu arah mata angin, karena mereka adalah
sahabat laut yang beratapkan langit malam. Insting alam dan cara mereka membaca
tanda-tanda alam dari hembusan angina, kepekatan udara cukup membuat saya terkesan.
Sebelum akhirnya saya benar-benar terlelap, sesekali saya membayangkan
kejadian di perahu motor tadi. Bagaimana caranya, nelayan yang tanpa GPS (Global Positioning System) tahu
kapan harus berbelok, memutar arah ketika berada di tengah lautan, yang sejauh
mata ini memandang sekelilingnya hanya ada lautan luas dan riak ombak. Sambil
memikirkan itu semua, sayup-sayup saya mendengar lagu India yang berbunyi dari
handphone yang belum memiliki kualitas stereo yang cukup ngebass.
Ingatan saya berikutnya tentang lagu-lagu India. Lagu India ini ibarat
rempah-rempah, langka dan bikin nagih. Lagu India mampu menembus jarak ribuan
kilometer, gelombang laut yang tinggi untuk sampai di salah satu kampung
terpencil di Papua. Entah kesamaan apa yang menjadikan lagu India jadi
pengantar tidur putri si pemilik rumah, yang jelas ketika saya terbangun pukul
02.00 pagi lagu India itu masih terngiang-ngiang.
***
Comments
Post a Comment
Apa pendapatmu?